Untaian Rencana Seiring Merahnya Daun Momiji

Tiba tiba saya teringat dengan pesen Ibu saya di kampung. Seorang wanita kampung yang sangat sederhana tapi mempunyai semangat yang luar biasa dalam menyekolahkan anak anaknya. Dilihat dari segi pendidikan ibu saya hanya mentok lulus SD karena keinginan sekolahnya ditentang oleh mendiang kakek saya. Mendiang kakek saya berfikir ngapain cewek sekolah tinggi tinggi? Buat apa? Yah mungkin mendiang kakek standarnya masih pakai standar jaman Majapahit. Tapi pemikiran tersebut juga 100% tidak bisa disalahkan karena memang kondisi jaman dulu wanita itu identik dengan dapur dan kasur. Situasi dan kondisinya beda banget sehingga cara befikir masyarakat jaman itu otomatis jelas beda dibandingkan dengan jaman sekarang. Mentok-nya pendidikan Ibu saya ini mungkin menjadi penyebab Ibu saya harus terjun meneruskan usaha keluarga yang sudah turun temurun yaitu bertani. Oh iya, saya tidak mengejek profesi petani. Sama sekali tidak karena saya sendiri kalau pulang kampung nanti juga punya niat untuk nyambi terjun ke dunia pertanian.

Suatu saat Ibu saya bertemu dengan seorang laki laki yang kemudian menjadi Bapak saya. Laki laki ini bisa menjadi guru karena lulus SPG. Strata pendidikan yang bisa dibilang tinggi untuk ukuran tahun 1960 atau 1980an. Profesi guru ini jelas berbanding terbalik profesi ibu saya yang harus panas panas mengurus sawah atau kadang harus terus bekerja meskipun hujan turun. Ada perasaan campur aduk kalau mengingat larangan mendiang kakek agar tidak usah meneruskan sekolah setelah lulus SD. Karena mengalami sendiri, ibu saya jadi tahu dan sadar betul akan arti sekaligus pentingnya pendidikan dan sebagai penggantinya bertekad untuk menyekolahkan anak anaknya setinggi tingginya. Ibu saya bertekad untuk mensupport anak anaknya agar bisa sekolah lebih tinggi dari dia dan kemudian hari bisa hidup lebih enak tidak harus berpanas panas diladang setiap hari.

Dengan izin Alloh SWT, niat dan usaha ibu saya ini alhamdulillah tercapai. 1 anaknya lulus jenjang doktor, 2 anaknya yang lain sudah lulus master. Bagi keluarga kami yang 1 juta persen wong ndeso, yang tinggal di kampung dengan fasilitas yang sangat terbatas bahkan listrik baru masuk saat saya sudah kelas 2 SMP, pencapaian ini sangat kami syukuri. Kami bisa keluar dari keterasingan ilmu dan menjadi orang yang sedikit melek ilmu. Keyakinan kami akan pentingnya ilmu semakin tinggi. Kami yakin ilmu adalah salah satu cara untuk mengubah hidup kami, keluarga kami bahkan hidup tanah air kita.

Suatu ketika Ibu saya memberikan wejangan kepada anak anaknya. Ibu  berkata Bapak Ibu tidak bisa memberikan apa apa, hanya bisa menyekolahkan kalian semua. Sekolahlah setinggi tingginya untuk modal hidup kemudian hari.  Sampai detik ini, ketika saya sudah menikah dan punya anakpun wejangan Ibu saya ini tetap terpatri dalam ingatan saya. Sampai kapanpun saya tidak akan melupakan pesan moral dari Ibu saya ini. Bagi saya, pesan ini bisa diibaratkan garis acuan yang saya percayai sepenuhnya. Kalau orang jawa bilangnya pesene wong tuwo kie ojo dilalekke yang bisa diartikan pesen orang tua itu jangan dilupakan ^_^

Agustus 2012 kemarin si kecil genap berumur 1 tahun. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Alhamdulillah si kecil makin cantik, gede, pinter, ramai dan lincah sekali. Tak terasa pula sudah waktunya kami memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh si kecil tahun depan, 2013. Obrolan mengenai si kecil dengan istri dibawah ini ternyata merupakan momentum untuk mengingat kembali wejangan Ibu tercinta.

Istri : Pa, Nisa kapan masuk hoikuen? (Hoikuen itu semacam tempat bermain sekaligus penitipan anak)

Saya : Ya, paling cepet tahun depan (2013). Terus kalau Nisa masuk hoikuen, mama mau ngapain?

Istri : Mau kerja part time. Masak dirumah terus.

Ketika mendengar jawaban istri saya diatas, tiba tiba saya teringat kembali dengan wejangan Ibu saya yang sudah saya jelaskan diatas. Memang saya akui, uang itu penting sekali. Tapi dalam kondisi tertentu pendidikan bisa jauh lebih penting dan bernilai. Memang benar kalau istri kerja part time bisa menambah penghasilan keluarga dan bisa dibawa pulang ke Indonesia nanti. Tapi jika istri saya bisa melanjutkan pendidikan, bisa meneruskan kuliah di Jepang nilai positif yang bisa dipetik jauh lebih besar. Kemudian kalau melihat background pendidikan istri yang lulus S1 jurusan bahasa Jepang terus bisa melanjutkan studi di Jepang kayaknya pas banget. Memang harus diakui ini tidak mudah dan diperlukan semangat luar biasa, tetesan keringat dan cucuran air mata. Tapi apa salahnya dicoba? Karena berani mencoba itu jauh lebih terhormat daripada hanya diam tanpa melakukan apa apa.

Saya adalah tipe laki laki yang relatif  bisa mandiri ^_^ Memuji diri sendiri nih ^_^  Mungkin karena sejak SMA saya sudah kost, jadi terbiasa hidup sendiri. Saya juga termasuk tipe laki laki yang tidak setuju kalau seorang istri itu dibatasi aktivitasnya dengan urusan dapur dan kasur karena hidup itu bukan hanya dapur dan kasur. Saya juga tidak minta apa apa harus disediain sama istri saya karena selama ini saya sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Saya punya prinsip, istri harus didorong, didukung dan difasilitasi agar bisa mengembangkan potensinya. Karena jika potensinya bisa ditemukan, digali kemudian bisa berkembang yang pertama tama diuntungkan bukan orang lain, tapi keluarga sendiri. Yang pertama kali menikmati outputnya itu keluarga saya sendiri.

Dengan dasar pemikiran tersebut,  akhirnya saya kembali berdialog dengan istri.

Saya : Ma, bagaimana kalau meneruskan kuliah saja? Mama mau nggak? 

Istri : Serius nih pa? sound good ^_^

Istri kaget tidak menyangka saya mempunyai usul seperti ini. Ini diluar rencana karena selama ini rencananya hanya saya yang maju meneruskan kuliah S3. Tapi alhamdulillah respon istri positif dan antusias sekali dengan usul saya ini. Saya juga berusaha meyakinkan bahwa Insya Alloh nanti pasti ada jalan. Yang penting niat dulu, bismillah, mantabkan hati. Tugas manusia itu hanya sebatas niat, berusaha dan berdoa yang maksimal. Masalah berhasil atau gak itu tidak usah terlalu dipikirkan karena itu memang hak perogratif Alloh SWT. Satu lagi yang penting, dalam pandangan Alloh SWT kegagalan itu bukan berarti keburukan absolut karena Alloh SWT bukan melulu melihat outputnya tapi juga melihat prosesnya.

Sebagai suami saya juga siap all out membackup rencana ini. Seluruh pengalaman, ilmu, finansial, network dan tentu saja doa akan saya kerahkan dan panjatkan karena saya tidak mau setengah setengah. Rencananya istri mau ambil program research student dulu sekitar 6 bulan atau 1 tahun, kemudian baru ikut ujian master. Berbagai langkah sedang dipersiapkan misalnya belajar bahasa jepang lagi, memikirkan rencana penelitian dan mencari sensei pembimbing dan lain sebagainya. Saya juga siap kalau harus menambah kerja part time apa saja demi rencana ini.  Bismillahirahmanirrahim !

ママ、パパは必ずそばにいって応援するよ。是非、頑張ってね ^_^

 Aki 2012, Aichi Jepang